Belum adanya kesepakatan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang batasan usia dewasa, menjadikan perlindungan terhadap anak-anak belum optimal, sebagaimana dikatakan Anggota Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh, di Jakarta, Sabtu (15/04/2017) malam.
"Antara undang-undang satu dengan yang lain berbeda. Ada yang menyebutkan 16 tahun, 17 tahun, ada pula lembaga negara yang menetapkan 21 tahun," kata Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang akrab disapa Ninik.
Ninik menerangkan bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan batas usia warga negara untuk menikah minimal 16 tahun.
Hal tersebut berbeda dengan peraturan perundang-undangan tentang pemilihan umum yang berlaku di Indonesia, yang menetapkan setiap warga negara berusia 17 tahun atau sudah menikah memiliki hak pilih.
Anggota Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh/IST |
Sama dengan undang-undang pemilu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga menetapkan batasan usia 17 tahun bagi warga negara untuk memiliki surat izin mengemudi (SIM).
Berbeda dengan beberapa undang-undang tersebut, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menetapkan batas usia 21 tahun baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah. Pada usia ini baik pria maupun wanita sudah matang secara fisik maupun psikologis.
Ninik pun sepakat dengan batasan usia menikah yang ditetapkan BKKBN. Menurutnya, pernikahan bukan hanya harus dilihat dari usia fisiknya saja, tetapi juga kematangan psikologis.
"Kita harus tegas menghentikan pernikahan usia anak. Seorang anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa karena belum bisa mengambil keputusan sendiri," ujarnya, sebagaimana dilaporkan Antara.
Bila terjadi pemaksaan pernikahan, lanjut Ninik, pernikahan usia anak dapat dikategorikan kekerasan seksual terhadap anak.
"Salah satu bentuk kekerasan seksual adalah pemaksaan pernikahan. Hal itu kebanyakan terjadi pada anak," tegasnya. (Ant)
Tidak ada komentar